Keputusan Kongres

KABAR DARI KONGRES KEDUA SPRI

Berakhirnya Era Lama, Menyongsong Era Baru:

Rebut Hak Sejahtera, Bangun Kekuatan dari Bawah!

Pada tanggal 1–2 Maret 2002, Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) telah menyelenggarakan Kongres Nasional Kedua. Kongres ini bukan sekadar peristiwa organisasi, melainkan tonggak sejarah yang menandai berakhirnya era lama dan lahirnya era baru dalam perjuangan rakyat miskin di Indonesia.

Era lama adalah era ilusi dan kompromi. Era di mana perjuangan sering terjebak dalam politik adaptasi, dalam sandiwara bantuan sosial, dalam harapan kosong terhadap penguasa. Kini SPRI memilih jalur baru—jalur perjuangan sejati. Dari advokasi menjadi konsolidasi. Dari melobi ke membangun kekuatan. Dari bergantung pada elite menjadi mandiri sebagai kekuatan politik rakyat.

1. Kapitalisme Adalah Akar Kemiskinan

SPRI menegaskan bahwa kemiskinan bukan karena kemalasan, kebodohan, atau moralitas buruk, melainkan akibat dari sistem kapitalisme yang melanggengkan ketimpangan. Kapitalisme membentuk struktur sosial seperti piramida, dengan segelintir elite ekonomi-politik di puncak, dan mayoritas rakyat di dasar piramida, tertindas dan tereksklusi.

Kelas borjuasi menguasai alat-alat produksi dan institusi negara, membentuk hukum, kebijakan, bahkan budaya yang menjustifikasi dominasi mereka. Tugas utama SPRI adalah membongkar tatanan yang menindas ini dan membangun masyarakat baru yang adil dan sejahtera.

2. Kemiskinan adalah Masalah Struktural, Bukan Takdir

Narasi bahwa kemiskinan adalah takdir atau akibat kelemahan individu adalah narasi palsu yang menutupi kekerasan sistemik. Sistem pendidikan yang elitis, PHK massal, migrasi paksa dari desa ke kota, dan kegagalan industrialisasi nasional adalah bukti bahwa kemiskinan diciptakan oleh sistem yang timpang.

Secara politik, rakyat miskin dijauhkan dari ruang-ruang pengambilan keputusan. Mereka hanya menjadi objek, bukan subjek dari pembangunan. Itulah sebabnya kemiskinan adalah persoalan struktural—bukan pribadi.

3. Bantuan Sosial: Ilusi Negara, Bukan Solusi Rakyat

Negara sering kali menampilkan diri sebagai “penolong rakyat miskin” melalui program seperti PKH, BPNT, dan BLT. Namun kenyataannya, program-program ini hanya menjadi alat pengendalian politik dan pembius kesadaran rakyat. Bantuan sosial itu tidak menyentuh akar masalah kemiskinan. Tidak merubah posisi rakyat sebagai kelas tertindas.

Kaum miskin tidak boleh terjebak dalam ilusi ini. Mereka tidak butuh belas kasih, tapi keadilan. Mereka tidak butuh kebaikan penguasa, tapi perubahan sistem yang berpihak pada mereka.

4. Tantangan Perjuangan: Kesadaran Palsu dan Anti-Organisasi

Perjuangan rakyat miskin terhalang oleh dua tantangan besar:

Pertama, kesadaran palsu yang menganggap kemiskinan sebagai nasib, bukan hasil dari penindasan.

Kedua, sikap anti-organisasi yang membuat rakyat miskin tercerai-berai dan sulit disatukan sebagai kekuatan kolektif.

Warisan Orde Baru, dengan politik depolitisasi dan deorganisasi, telah melumpuhkan kesadaran rakyat. Hasilnya: rakyat miskin terjebak dalam individualisme, apatis terhadap politik, dan mudah diadu domba dalam konflik horizontal. Inilah tantangan besar yang harus dijawab SPRI.

5. Bangun Organisasi dari Bawah!

Jawaban satu-satunya adalah: organisasi. Organisasi adalah alat perjuangan. Tanpa organisasi, kekuatan rakyat hanyalah serpihan amarah. Tapi dengan organisasi, amarah itu bisa diarahkan menjadi kekuatan perubahan.

Organisasi rakyat seperti pohon: berakar di tanah, tumbuh ke langit. Akar dan pondasinya adalah basis massa: rakyat miskin yang dihimpun, disatukan, dan disadarkan. Bukan seminar-seminar elit, bukan panggung akademis, melainkan lorong-lorong sempit, rumah-rumah reyot, kampung-kampung kumuh tempat rakyat tinggal dan bertahan hidup.

Para kader SPRI harus mengakar di sana—hidup bersama rakyat, menyatu dengan denyut dan derita mereka.

6. Pendidikan Politik dan Bacaan Ideologis: Pilar Konsolidasi

Kesadaran tidak lahir dari langit. Ia dibangun. Maka SPRI menegaskan bahwa pendidikan politik adalah nadi dari organisasi. Pendidikan ini harus sistematis, berjenjang, dan menjangkau sampai akar rumput.

Selain itu, bacaan ideologis dan bahan pendidikan politik harus didistribusikan secara merata ke tingkat basis. Bacaan ini menjadi fondasi ideologi, pemahaman organisasi, dan kesadaran kelas yang akan menuntun arah perjuangan.

Penutup

Kongres Kedua SPRI telah menetapkan: Era lama SPRI telah berakhir. Kini dimulai era baru. Era memperkuat basis massa. Era membangun organisasi dari bawah. Era memperluas pendidikan politik. Era mempersiapkan SPRI sebagai alat politik alternatif rakyat miskin.

REBUT HAK SEJAHTERA; BANGUN KEKUATAN DARI BAWAH!

HIDUP RAKYAT MISKIN YANG BERJUANG!