Kaum Miskin Kota dan Neoliberalisme

Kaum Miskin Kota dan Neoliberalisme 07 Jul 2025       35

Pendahuluan

Kapitalisme global dalam fase neoliberalnya tidak hanya mengubah struktur ekonomi, tetapi juga secara aktif menciptakan kota sebagai alat dominasi kelas. Proses ini menjerat Kaum Miskin Kota (KMK) ke dalam mekanisme pemiskinan struktural yang tidak bersifat insidental, melainkan dirancang dan dijalankan secara sistemik oleh kekuatan negara dan modal. Narasi pembangunan yang menjanjikan “kemajuan” justru menjadi kedok bagi ekspansi kapital yang mengorbankan hak hidup rakyat.


Tulisan ini menelaah posisi KMK sebagai bagian dari kelas proletar urban yang tidak hanya tereksklusi, tetapi secara aktif diposisikan sebagai “musuh dalam kota”—pengganggu pasar, ruang, dan estetika kapital. Oleh karena itu, analisis ini tidak berhenti pada pemahaman struktural, tetapi mengarahkan pada formasi politik revolusioner sebagai syarat pembebasan sejati.


Siapa Kaum Miskin Kota?

Kaum Miskin Kota adalah bagian dari kelas pekerja urban yang kehilangan kontrol atas sarana produksi dan ruang hidupnya. Mereka hidup dalam ketercerabutan dari hak-hak dasar karena:

  • Tidak memiliki kendali atas tanah dan ruang kota.
  • Terjebak dalam sektor informal yang menjamin fleksibilitas bagi kapital, bukan perlindungan bagi pekerja.
  • Tidak punya akses terhadap proses pengambilan keputusan politik, bahkan ketika menyangkut hidup mereka sendiri.


    Mereka adalah kelas yang tidak diinginkan namun dibutuhkan dalam sistem kapitalisme urban: dibutuhkan sebagai tenaga murah dan konsumen, tapi tidak diinginkan ketika mereka menuntut hak atau sekadar hadir di ruang-ruang yang diklaim “milik pasar.”


    Kemiskinan Kota

    Kemiskinan perkotaan tidak lahir dari kemalasan atau ketidakteraturan, melainkan hasil dari logika kapitalisme yang:


    • Mengonsentrasikan kepemilikan ruang dan kekayaan pada segelintir elite.
    • Mengusir rakyat dari desa melalui krisis agraria, lalu menyingkirkan mereka dari kota melalui gentrifikasi.
    • Mengubah ruang kota menjadi komoditas investasi, bukan ruang hidup.


      KMK bukan “tersisih” dari pembangunan, mereka diposisikan secara aktif untuk dikesampingkan, demi memperlancar akumulasi kapital.


      Neoliberalisme

      Neoliberalisme bukan sekadar kebijakan ekonomi, tetapi proyek politik yang mereproduksi kekuasaan borjuis melalui mekanisme pasar. Ia memiliki karakter utama:

      1. Privatisasi – konversi hak kolektif menjadi hak milik modal.
      2. Deregulasi – pelemahan hukum yang melindungi rakyat demi fleksibilitas kapital.
      3. Komodifikasi – menjadikan segala sesuatu, termasuk pendidikan, kesehatan, dan air, sebagai barang dagangan.

      Di Indonesia, neoliberalisme menguat sejak krisis 1998. Negara berfungsi bukan lagi sebagai pelindung rakyat, melainkan sebagai agen kapital internasional. Kebijakan pasca-IMF seperti liberalisasi pasar, deregulasi tanah, dan megaproyek infrastruktur menunjukkan bahwa negara telah menjadi bagian dari “komite eksekutif” kelas borjuis, sebagaimana Marx pernah nyatakan.


      Pemiskinan Struktural

      Neoliberalisme menciptakan pemiskinan melalui:

      • Penggusuran paksa atas nama pembangunan.
      • Komodifikasi ruang yang menjadikan kota sebagai ruang investasi bukan kehidupan.
      • Informalisasi kerja, yang menguntungkan modal tapi menyengsarakan pekerja.
      • Stigmatisasi kelas bawah sebagai penghambat pembangunan, memperkuat kekerasan simbolik.


        Ini bukan kegagalan kebijakan. Ini adalah fungsi dari kapitalisme urban itu sendiri.


        Krisis Kota sebagai Krisis Kekuasaan Kelas

        Problem KMK adalah gejala dari struktur kekuasaan yang tidak demokratis:

        • Insekuritas tempat tinggal: tanah dianggap ilegal karena tidak sesuai dengan kepentingan investor.
        • Akses layanan dasar dibatasi: karena dianggap tidak menguntungkan secara ekonomi.
        • Pekerjaan rentan: karena pasar membutuhkan fleksibilitas dan disiplin tanpa perlindungan.
        • Stigmatisasi sosial: menciptakan justifikasi kultural bagi pengusiran dan eksklusi.
        • Pengambilan keputusan tertutup: KMK tidak hanya dimiskinkan, tetapi juga dibungkam.


          Dari Tuntutan ke Perebutan

          Respon KMK tidak cukup hanya melalui advokasi atau litigasi yang bergantung pada sistem hukum borjuis. Harus ada pergeseran dari politik tuntutan ke politik perebutan—yakni perebutan ruang, tanah, hak produksi, dan kekuasaan politik kota.


          Strategi Revolusioner Kaum Miskin Kota:

          1. Rebut Hak Atas Kota Sebagai Hak Memerintah Kota. Bukan hanya menuntut akses, tetapi menjadi penguasa politik atas ruang hidup sendiri.
          2. Bentuk Ekonomi Kolektif Berbasis Produksi Rakyat. Koperasi produksi, lumbung pangan urban, komunitas energi, dan sistem barter sebagai bentuk pemisahan praktis dari logika pasar kapitalis.
          3. Organisasi Kelas dan Blok Politik Rakyat Kota. Bangun aliansi antara KMK, buruh, perempuan pekerja, dan pemuda sebagai blok politik revolusioner untuk melawan dominasi kapital di kota.
          4. Konsolidasi Tanah Rakyat dan Reformasi Agraria Perkotaan. Legalitas bukan tujuan akhir. Tujuannya adalah kontrol rakyat atas tanah dan rancang ulang ruang berdasarkan kebutuhan kolektif, bukan profit.
          5. Pendidikan Politik sebagai Proses Radikalisasi Kolektif. Sekolah rakyat, diskusi kampung, dan kaderisasi menjadi fondasi untuk membentuk kesadaran kelas dan militansi politik rakyat.

          Penutup

          Kaum Miskin Kota adalah produk dari sistem yang menindas. Namun mereka juga adalah potensi revolusioner yang, jika terorganisir secara politik, mampu menggulingkan kekuasaan kapital atas kota.


          Perjuangan mereka harus melampaui reformasi semu. Ia harus berani membayangkan dan memperjuangkan kota baru—bukan sebagai pusat perdagangan, tapi sebagai ruang hidup kolektif, ruang perjuangan, dan ruang pembebasan.

          Kaum Miskin Kota punya kota untuk dimenangkan. Dan mereka harus merebutnya.