Perlukah Kaum Miskin Membangun Partai Politik?

Perlukah Kaum Miskin Membangun Partai Politik? 07 Jul 2025       35

Perlukah Kaum Miskin Membangun Partai Politik?

Oleh: Dika Moehammad


Keberadaan partai politik (parpol) merupakan keniscayaan dalam sistem negara demokratis. Parpol bukan sekadar instrumen legalitas pemilu, melainkan fondasi utama tempat gagasan, aspirasi, dan kekuasaan politik diolah dan diperjuangkan. Tanpa parpol, demokrasi hanya menjadi rangka kosong—sekadar formalitas prosedural yang kehilangan daya gerak dan orientasi sosial. Demokrasi yang hidup hanya bisa lahir dari kekuatan politik yang terorganisir, dan parpol adalah wadah utamanya.


Sebagaimana ditegaskan Richard S. Katz dan William Crotty (2014), parpol merupakan jembatan vital antara rakyat dan institusi negara. Ia menjadi medium bagi warga negara untuk mengontrol, memengaruhi, bahkan mengganti kekuasaan yang tidak lagi berpihak. Partai politik yang terbuka, menghargai partisipasi rakyat, dan menjunjung prinsip representasi adalah benteng utama demokrasi dari kemungkinan meluncur ke jurang otoritarianisme. Oleh karena itu, parpol bukan sekadar “alat”, tetapi mesin perjuangan rakyat dalam meraih kekuasaan politik demi perubahan sosial.


Namun, sebagai penyangga demokrasi, sebuah parpol mutlak harus demokratis pula secara internal. Tidak mungkin membangun demokrasi sejati dengan kendaraan politik yang bobrok di dalam. Seperti tak mungkin membersihkan lantai dengan sapu yang kotor, tak bisa kita memperjuangkan keadilan melalui partai yang penuh manipulasi, dinasti, dan patronase. Jika internal parpol bersifat feodal, maka demokrasi yang dibangunnya pun tak lebih dari kepalsuan yang dibungkus jargon.


Inilah kunci pertama menuju partai politik yang modern: demokrasi internal yang transparan, partisipatif, dan meritokratis. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa partai dengan tradisi demokratis yang kuat cenderung bertahan lama dan memperoleh dukungan luas dari masyarakat. Sebaliknya, partai yang oligarkis, elitis, dan mengandalkan pencitraan belaka akan melemah, kehilangan legitimasi, dan ditinggalkan rakyat.


Dalam tahap awal perkembangan demokrasi, patronase politik—termasuk di dalam tubuh parpol—kerap mendominasi. Hubungan patron-klien, yang menyerupai relasi tuan dan hamba, menciptakan ketergantungan politik dan kemandekan ideologis. Patron yang menguasai sumber daya besar menggunakan pengaruhnya untuk mengendalikan partai dan membangun kekuasaan yang langgeng. Kesetiaan buta menjadi mata uang utama dalam relasi politik yang kotor ini. Tak heran bila kursi kepemimpinan di banyak parpol diwariskan secara turun-temurun, menjadikannya kerajaan kecil dalam sistem demokrasi.


Namun, seiring dengan pematangan demokrasi, patronase harus dibongkar hingga ke akar-akarnya. Patronase adalah antitesis dari demokrasi. Ia mengingkari prinsip kesetaraan dan membatasi akses politik hanya kepada mereka yang memiliki modal besar. Dalam sistem seperti ini, rakyat kecil hanya menjadi alat, bukan aktor politik. Demokrasi sejati mengharuskan setiap warga, tanpa pandang kelas, memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menentukan arah masa depan bangsa.


Apakah sebuah partai dikelola secara modern atau masih berkubang dalam lumpur tradisionalisme bisa dilihat dari sejauh mana pengaruh patron masih mengakar. Partai yang menggantungkan diri pada figur tertentu bukan hanya rapuh, tapi juga mandek secara ideologis. Ketika patron itu jatuh, partai pun ikut runtuh. Inilah krisis regenerasi, krisis gagasan, dan krisis kepercayaan yang menyergap banyak partai hari ini.


Negara-negara demokrasi maju seperti Denmark, Swedia, Norwegia, dan Finlandia telah menunjukkan bagaimana parpol yang bersih dari patronase mampu tumbuh stabil dan dipercaya publik. Sebaliknya, negara-negara seperti Yunani, Italia, Belgia, dan juga Indonesia, masih dibelenggu oleh patronase yang mengebiri dinamika politik dan memperkuat dominasi elite. Maka, pemangkasan patronase bukan hanya syarat teknis menuju partai modern, tapi langkah revolusioner untuk menyelamatkan demokrasi itu sendiri.


Pertanyaan paling mendasar dan mendesak hari ini adalah: di mana posisi kaum miskin dalam sistem politik yang berjalan? Jawaban yang jujur dan menyakitkan adalah: mereka hanya menjadi objek. Diperhitungkan saat pemilu, lalu dibuang setelah suara diraup. Dijanjikan perubahan, tetapi selalu dikhianati.


Selama ini kaum miskin sepenuhnya menggantungkan nasib pada partai-partai borjuis—partai yang lahir, tumbuh, dan hidup dari sokongan kelas pemodal. Tak mengherankan bila yang diperjuangkan oleh partai-partai itu hanyalah kepentingan elite, sementara penderitaan rakyat kecil dijadikan alat kampanye tanpa pernah diselesaikan.


Sudah cukup pengkhianatan ini dibiarkan. Sudah waktunya kaum miskin berdiri di atas kaki sendiri, membangun alat perjuangan politiknya sendiri—partai politik kelas pekerja, petani, nelayan, buruh, dan rakyat miskin kota. Sebuah partai yang tidak sekadar membawa nama “kerakyatan”, tapi benar-benar hadir di tengah rakyat, tumbuh dari rahim penderitaan mereka, dan bertindak sebagai alat perubahan struktural.


Dengan membangun partai sendiri, kaum miskin dapat merumuskan agenda politik mereka sendiri, menentukan calon-calon pemimpin mereka sendiri, dan memperjuangkan kebijakan publik yang berpihak pada kehidupan mereka sendiri. Ini bukan sekadar soal ikut pemilu, ini soal menggenggam alat politik untuk mematahkan dominasi borjuasi dan membangun masa depan yang setara.


Perjuangan membangun partai politik milik rakyat miskin bukan pekerjaan mudah. Ini bukan proyek satu malam, bukan hasil dari pidato atau amarah sesaat. Ini kerja panjang, melelahkan, penuh rintangan—tapi juga kerja paling mulia. Dibutuhkan konsistensi, pengorganisasian akar rumput, pendidikan politik yang membebaskan, serta keyakinan kolektif bahwa perubahan sejati hanya bisa lahir dari bawah.


Pengalaman di berbagai belahan dunia telah membuktikan bahwa partai politik rakyat miskin bukanlah utopia. Di Amerika Latin, Afrika Selatan, India, bahkan Eropa Timur, partai-partai berbasis buruh dan tani telah tampil sebagai kekuatan alternatif yang nyata. Maka Indonesia pun bukan pengecualian. Asalkan ada kehendak kolektif, komitmen ideologis, dan keberanian memutus ketergantungan dari elite, maka partai kaum miskin bisa lahir dan menjadi kekuatan revolusioner yang merombak sistem.


Sudah cukup kaum miskin menjadi pelengkap penderita dalam panggung politik borjuis. Sudah cukup mereka menjadi lumbung suara tanpa suara. Sekarang saatnya mengorganisasi diri, mempersatukan barisan, dan memimpin perjuangan sendiri. Bukan untuk ikut bermain dalam sistem yang timpang, tapi untuk mengubah sistem itu secara radikal dari dalam.


Dengan partai sendiri, kaum miskin akan berhenti mengemis kepada elite. Mereka akan berhenti menjadi korban kebijakan yang dibuat tanpa melibatkan mereka. Dan lebih dari itu, mereka akan menunjukkan bahwa politik bukan milik elite semata, tetapi hak setiap manusia untuk memperjuangkan kehidupan yang layak dan bermartabat.


Bangun partai politik kaum miskin. Bangun sekarang juga. Karena tak ada pembebasan tanpa organisasi. Tak ada revolusi tanpa alat politik. Dan tak ada masa depan tanpa keberanian untuk melawan.