Industrialisasi Indonesia: Jejak Sejarah, Tantangan Struktural, & Jalan Menuju Kedaulatan Ekonomi

Industrialisasi Indonesia: Jejak Sejarah, Tantangan Struktural, & Jalan Menuju Kedaulatan Ekonomi 27 Sep 2025       176

Industrialisasi Indonesia:

Jejak Sejarah, Tantangan Struktural, & Jalan Menuju Kedaulatan Ekonomi

Pengantar

Dalam sistem kapitalisme global yang dibentuk oleh relasi kekuasaan imperialistik, negara-negara tidak berdiri dalam posisi yang setara. Tatanan internasional bersifat anarkhis dan hierarkis, di mana dominasi ekonomi dan politik ditentukan oleh kemampuan sebuah negara menguasai sektor-sektor strategis, terutama industri maju yang menopang kekuatan militer, teknologi, dan perdagangan global.


Dalam konteks ini, kapasitas industri bukan sekadar ukuran pertumbuhan ekonomi, melainkan instrumen kedaulatan nasional dan hegemoni internasional. Rantai pasok global saat ini—dari energi, pangan, logam tanah jarang hingga semikonduktor—dikendalikan oleh negara-negara kapitalis inti. Negara-negara pinggiran seperti Indonesia, justru terjebak dalam posisi subordinat sebagai pemasok bahan mentah, buruh murah, dan pasar bagi produk manufaktur asing.


Kapitalisme global tidak berkembang secara merata dan damai. Ia bertumpu pada mekanisme akumulasi dengan perampasan (accumulation by dispossession), dan secara struktural memindahkan krisis ke ruang-ruang lain melalui spatial fix—liberalisasi ekonomi, privatisasi aset publik, dan deregulasi pasar. Dalam arus inilah, proyek industrialisasi Indonesia tidak pernah netral, tetapi selalu terjebak dalam logika kapitalisme dependensial,yang melanggengkan ketimpangan dan eksploitasi terhadap tenaga kerja serta alam Indonesia.


Sejarah Industrialisasi Indonesia


1. Masa Kolonial Belanda (Abad ke-19–1942): Industrialisasi untuk Eksploitasi

Sistem kolonial Belanda tidak pernah bertujuan membangun bangsa, tetapi menstrukturkan ekonomi Indonesia sebagai pelengkap akumulasi modal di Eropa. Industrialisasi dibatasi pada pengolahan awal komoditas ekspor seperti karet, gula, dan minyak, demi menunjang kepentingan kapital kolonial. Rakyat pribumi dimiskinkan secara sistematis, tidak diberi akses terhadap alat produksi modern, dan dijauhkan dari kontrol atas hasil kerja mereka.


2. Masa Pendudukan Jepang (1942–1945): Mobilisasi Paksa untuk Perang Imperialis

Jepang menjadikan Indonesia sebagai basis logistik perang Asia Timur Raya. Industrialisasi diarahkan untuk kepentingan militer imperial Jepang. Tenaga kerja dipaksa, infrastruktur hancur, dan sumber daya disedot tanpa ampun. Tidak ada pembangunan industri nasional; yang tersisa adalah kehancuran dan kelaparan massal.


3. Era Revolusi dan Demokrasi Liberal (1945–1959): Nasionalisasi tanpa Sosialisasi

Pasca-kemerdekaan, nasionalisasi aset Belanda adalah langkah progresif. Namun, tanpa strategi yang mengakar pada kekuatan rakyat, nasionalisasi hanya menggantikan pemilik asing dengan elite lokal. Program Benteng gagal karena tidak mengubah struktur produksi dan tidak menyentuh basis agraria sebagai fondasi industrialisasi. Proteksi tanpa demokratisasi ekonomi hanya memperkuat oligarki baru.


4. Demokrasi Terpimpin (1959–1965): Industrialisasi sebagai Proyek Kedaulatan

Inilah periode yang paling dekat dengan agenda industrialisasi nasional yang berdaulat dan berpihak pada rakyat. Melalui semangat berdikari dan ekonomi terencana, negara membangun industri dasar strategis dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada kapital asing. Proyek-proyek seperti Krakatau Steel, Pusri, hingga IPTN lahir dalam semangat pembangunan negara-bangsa pascakolonial.


Namun, tanpa demokratisasi kontrol rakyat, dan dalam situasi geopolitik yang tercekik Perang Dingin, upaya ini mudah dipukul mundur oleh krisis fiskal dan represi politik. Kudeta militer 1965 bukan sekadar krisis politik, melainkan pembalikan terhadap proyek nasionalisasi, kedaulatan ekonomi, dan peran rakyat dalam pembangunan.


5. Era Orde Baru (1966–1997): Industrialisasi dalam Rezim Militer dan Modal Asing

Orde Baru adalah fase integrasi penuh Indonesia ke dalam kapitalisme global. Di bawah kendali IMF, Bank Dunia, dan elite teknokratik, industrialisasi dilakukan dengan skema pasar bebas yang dikendalikan militer dan korporasi asing. Substitusi impor dan ekspor padat karya menghasilkan pertumbuhan semu, tapi berdiri di atas:


  • Eksploitasi tenaga kerja murah, tanpa perlindungan;
  • Kerusakan ekologis massal;
  • Konsentrasi kekayaan di tangan konglomerat dan militer.


BUMN dijalankan layaknya perusahaan swasta dan dijauhkan dari kontrol rakyat. Tidak ada pembangunan teknologi nasional, dan seluruh sektor strategis dikunci oleh investasi asing.


6. Krisis dan Era Reformasi (1998–kini): Liberalisasi tanpa Demokratisasi

Krisis 1997 membuka pintu selebar-lebarnya untuk neoliberalisme telanjang. Di bawah tekanan IMF, privatisasi massal dilakukan atas aset negara—dari perbankan hingga BUMN strategis. Otonomi daerah dimanfaatkan oleh elite lokal untuk menjarah sumber daya, bukan memperkuat produksi rakyat.


Alih-alih membangun industri nasional yang mandiri, Indonesia mengalami deindustrialisasi dini. Pertumbuhan digerakkan oleh ekstraktivisme (sawit, batubara, nikel) dan sektor non-produktif (finansial, properti, dan konsumsi digital), sementara sektor manufaktur menurun dan buruh kehilangan perlindungan.


Industrialisasi atau Ilusi Kemandirian?

Narasi industrialisasi baru—seperti hilirisasi nikel, EV battery, dan industri hijau—sering dipoles dengan jargon kemandirian dan transformasi ekonomi. Namun kenyataannya:

  • Modal asing tetap dominan, khususnya dari China, Korea, dan investor multinasional;
  • Buruh tetap tereksploitasi, dengan upah murah dan kondisi kerja buruk di smelter dan pabrik EV;
  • Lingkungan rusak, tanah adat dirampas, dan masyarakat lokal termarjinalkan;
  • Teknologi dan kendali pasar tetap berada di tangan asing.


Program Making Indonesia 4.0 adalah strategi neoliberal dengan baju digital, yang tidak menyentuh persoalan struktural: siapa mengendalikan produksi, siapa menikmati hasilnya, dan untuk siapa industrialisasi dibangun?


Industrialisasi Sebagai Pembebasan

Pengalaman global—dari Kuba, Vietnam, Bolivia, hingga Korea Selatan di era developmental state—menunjukkan bahwa industrialisasi yang berhasil membutuhkan negara yang aktif, berdaulat, dan berpihak pada rakyat. Bukan sekadar fasilitator investasi asing, tetapi pengorganisir kekuatan produksi nasional berbasis kelas pekerja dan komunitas rakyat.


Indonesia membutuhkan:

  • Rencana industrialisasi jangka panjang berbasis kepentingan nasional dan kelas pekerja;
  • Reforma agraria sejati dan pembangunan desa sebagai basis penyedia pangan dan tenaga kerja;
  • Kepemilikan publik atas sektor strategis, termasuk energi, logam dasar, dan teknologi digital;
  • Alih teknologi berbasis nasionalisasi riset dan pengembangan (R&D);
  • Koperasi produksi, BUMN rakyat, dan ekonomi solidaritas sebagai aktor utama industrialisasi;
  • Penguatan serikat buruh dan organisasi tani sebagai kontrol sosial dan kekuatan produksi.

 

Langkah-langkah Industrialisasi

Secara garis besar, berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dapat diatasi melalui langkah-langkah industrialisasi berikut:

  1. Menjamin Ketersediaan Energi Nasional. Negara harus menjamin ketersediaan sumber energi yang memadai untuk seluruh jenis industri. Kepemilikan korporasi penghasil energi—seperti minyak, gas, dan batu bara—perlu diambil alih oleh negara guna memastikan terpenuhinya kebutuhan energi dalam negeri. Kerja sama energi dengan negara-negara seperti Venezuela dan Iran perlu ditingkatkan. Sebaliknya, ekspor sumber energi harus dibatasi atau dihentikan demi kepentingan nasional.
  2. Pengembangan Energi Alternatif. Sebagai langkah jangka panjang, negara perlu melakukan kajian strategis terhadap pengembangan sumber energi alternatif yang berdampak minimal terhadap lingkungan.
  3. Penyediaan Bahan Baku Industri Primer. Negara wajib menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri penyedia kebutuhan primer masyarakat (sandang, pangan, dan papan). Perhatian khusus perlu diberikan pada pengadaan bahan baku yang masih diimpor, seperti kapas untuk industri tekstil. Larangan ekspor harus diberlakukan terhadap bahan baku yang menjadi fondasi produksi kebutuhan dasar, kecuali jika tersedia surplus yang layak dipasarkan ke luar negeri.
  4. Pengembangan Industri Pengolahan dan Teknologi. Kebijakan industri harus mendorong pembangunan industri pengolahan bahan mentah menjadi bahan setengah jadi. Hal ini mencakup industri induk seperti mesin, kimia, baja olahan, dan aluminium. Transfer teknologi dilakukan melalui kerja sama investasi dengan negara-negara berteknologi maju, atau dengan mengadopsi teknologi dari luar (seperti Jerman, Jepang, Rusia, atau Tiongkok).
  5. Perlindungan dan Penguatan Pasar Dalam Negeri. Negara harus melindungi industri yang masih memerlukan dukungan dengan menerapkan pajak atau cukai tinggi terhadap produk impor sejenis. Untuk komoditas tertentu, negara perlu menyediakan jalur distribusi yang terjangkau dengan harga subsidi, agar dapat diakses luas oleh masyarakat.
  6. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Pendidikan dan kesehatan harus sepenuhnya ditanggung oleh negara sebagai prasyarat pembangunan tenaga kerja berkualitas. Jaminan gizi untuk seluruh masyarakat tidak boleh dipandang sebagai bantuan untuk kaum miskin semata, melainkan sebagai hak seluruh warga negara. Warga negara yang mampu tetap dapat memilih layanan pendidikan dan kesehatan di luar fasilitas publik.
  7. Modernisasi dan Kolektivisasi Pertanian. Dilakukan melalui:  a) Penyediaan kredit dengan bunga rendah dan jaminan dari pemerintah melalui bank pertanian; b) Mobilisasi lembaga riset untuk mengembangkan teknologi pertanian sesuai karakter geografis dan sosial budaya Indonesia, termasuk aspek pembibitan, mekanisasi, irigasi, dan infrastruktur; c) Pengembangan pertanian kolektif berbasis pengelolaan bersama dan penerapan teknologi maju, dengan melibatkan petani secara demokratis dalam pengambilan keputusan; d) Pembangunan industri pengolahan hasil pertanian di setiap wilayah sesuai komoditas unggulan. Teknologisasi pertanian ini tidak akan menimbulkan pengangguran baru, justru membuka lapangan kerja karena meningkatnya kebutuhan tenaga kerja di sektor-sektor baru.
  8. Integrasi Industri Hulu dan Hilir. Setiap izin operasi industri hulu harus disertai syarat pembangunan industri pengolahan. Bahan mentah tidak boleh langsung diekspor tanpa pengolahan, agar tercipta nilai tambah dan peningkatan produktivitas masyarakat melalui tumbuhnya industri lanjutan, misalnya: bauksit menjadi aluminium, bijih besi menjadi baja, baja menjadi mesin, dan seterusnya.
  9. Penguatan Industri Kecil dan Menengah (IKM). Industri kecil dan menengah perlu mendapatkan perhatian melalui kemudahan akses terhadap kredit mikro, penyediaan bahan baku produksi dengan harga terjangkau, serta jaminan akses pasar yang berkelanjutan.

Penutup

Industrialisasi bukan soal membangun pabrik semata. Ia adalah soal siapa yang mengendalikan alat produksi, siapa yang menentukan arah pembangunan, dan siapa yang mendapatkan hasilnya. Industrialisasi dalam sistem kapitalisme hanya akan memperkuat dominasi modal dan memperdalam ketimpangan kelas.


Sudah saatnya kita membangun industrialisasi yang memerdekakan, yang diletakkan dalam kerangka ekonomi sosialis-demokratis, di mana: "Produksi ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat, bukan akumulasi profit; Teknologi digunakan untuk memperpendek waktu kerja dan memperkaya kualitas hidup, bukan mempercepat eksploitasi; Dan sumber daya dikendalikan oleh rakyat pekerja, bukan oleh elite yang melayani kapital global."


Industrialisasi sejati adalah bagian dari perjuangan rakyat untuk membangun masyarakat tanpa penindasan, tanpa ketimpangan, dan tanpa eksploitasi—menuju Indonesia yang merdeka secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkeadilan sosial.


Ditulis oleh tim redaksi-bacaanpsri.org